UNISNU JEPARA bekerja sama dengan Radar Kudus Jawa Pos membuka rubrik Konsultasi Agama, terbit setiap hari mulai tanggal 1 – 25 Ramadhan 1444 H.
Rubrik ini terbuka bagi masyarakat umum yang ingin menyampaikan pertanyaan atau permasalah seputar agama Islam. Pertanyaan dapat dikirimkan melalui email humas@unisnu.ac.id Jangan lupa menyantumkan nama dan alamat.
Pertanyaan terpilih akan diterbitkan beserta jawabannya di : Koran Radar Kudus Jawa Pos, website radarkudus.jawapos.com, dan website unisnu.ac.id
Pertanyaan
Assalamuálaikum. Berkaitan niat puasa ramadhan, mengapa harus dilakukan pada malam hari sebelum melaksanakan puasa pada keesokan harinya, bagaimana jika lupa berniat pada malah hari? [Andi Saripan]
Jawaban
Waalaikum salam wr. wb. Niat berpuasa memang agak berbeda dengan jenis-jenis ibadah lain yang niatnya dilakukan pada awal atau beriringan dengan pelaksanaan suatu ibadah, seperti shalat. Niat puasa Ramadlan biasanya dilakukan setelah shalat Tarawih. Para ahli fiqh berpendapat bahwa hal itu karena sulitnya melaksanakan niat bersamaan dengan permulaan waktu ibadah puasa. Selain itu, niat pada malam hari juga berguna untuk menghindarkan seseorang agar tidak lupa untuk menyatakan niat yang menjadi salah satu rukun ibadah puasa.
Para ahli fiqh menyatakan bahwa niat puasa wajib dilakukan pada setiap malam selama bulan Ramadlan, sehingga puasa seseorang menjadi tidak sah jika tidak melaksanakan niat pada malam harinya. Akan tetapi, ada sebagian ahli fiqh yang berpendapat bahwa untuk menghindari kemungkinan lupa, niat berpuasa dapat dilakukan sekali untuk mewakili keseluruhan ibadah puasa pada bulan Ramadlan tersebut. Para ahli fiqh juga berpendapat bahwa jika seseorang melaksanakan sahur, namun lupa berniat untuk berpuasa, maka puasanya tetap sah karena dengan malaksanakan aktifitas sahur pada dasarnya seseorang itu bermaksud atau memiliki tujuan yang terbesit untuk berpuasa pada keesokan harinya.
Muhammad Nashrul Haqqi, S.Th.I., M.Hum. Dosen Tetap Prodi KPI & Kepala UPT Layanan International UNISNU JEPARA
Pertanyaan
Apakah niat berpuasa harus diucapkan dalam bahasa Arab atau boleh dalam bahasa Jawa? (Mukhtar, Sukodono)
Jawaban
Seperti niat ibadah-ibadah yang lain, niat berpuasa sebenarnya cukup dan sah jika hanya dimaksudkan atau ditujukan dalam hati, bahwa seseorang tersebut akan melaksanakan puasa pada keesokan harinya. Namun banyak juga yang mengucapkan niat dalam bahasa Arab dan diikuti dengan terjemahnya dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Tentu saja hal itu diperbolehkan dan bahkan dianjurkan, mengingat salah satu syarat sah niat ibadah seseorang adalah mengetahui ibadah yang hendak dilaksanakannya.
Muhammad Nashrul Haqqi, S.Th.I., M.Hum. Dosen Tetap Prodi KPI & Kepala Layanan International UNISNU Jepara
Pertanyaan
Tolong jelaskan bagaimana sikap dan langkah yang harus dilakukan oleh makmum apabila imamnya batal? Apakah meneruskan secara munfarid? Ataukah tetap melanjutkan tetap berjamaah dengan menunjuk imam baru pengganti iamam yang batal? (Nia, Pecangaan)
Jawaban
Ketika imam batal, maka shalat makmum tidak otomatis batal. Sehingga jika imam batal, maka makmum memiliki dua pilihan, pertama, melanjutkan shalat secara munfarid (sendirian) dengan niat mufarraqah (memisahkan diri) dari imam yang telah batal shalatnya. Dan kedua, Menyempurnakan shalatnya secara berjamaah.
Nah, apabila alternatif kedua yang dipilih, maka harus dilakukan istikhlaf (penunjukan pengganti imam dengan imam lain, karena suatu sebab imam pertama tidak dapat meneruskan shalatnya). Kemudian perlu diketahui, bahwa proses istikhlaf ini terdapat dua kemungkinan, pertama, imam (yang batal tadi) menunjuk pengganti, dan sebaiknya pengganti imam yang ditunjuk oleh imam pertama (yang batal) adalah dari golongan makmum, bukan orang lain di luar makmum. Kedua, para makmum yang menunjuk pengganti imam, tentunya hal ini harus dilakukan dengan isyarat yang tidak sampai membatalkan shalat. Atau boleh juga seorang makmum berinisiatif sendiri untuk menggantikan imam yang batal tadi.
Perlu diketahui pula bahwa istikhlaf ini hukumnya sunnah, selain istikhlaf untuk shalat jum’at. Dan istikhlaf ini harus dilakukan secepatnya setelah imam batal, jadi tidak menunggu lama-lama setelah batalnya imam. (keterangan diambil dari kitab Bughyatul Mustarsyidin, halaman 85). Wallahu a’lamu bis-shawab.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Bagaimana hukumnya, ketika khutbah jum’at sedang berlangsung kemudian memberikan sedekah (infaq) di kotak “muter” yang telah disediakan oleh masjid?(Rizqi, Mlonggo)
Jawaban
Dalam masalah inipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian ulama Hanafiyyah menyatakan hukumnya makruh tahrim (sangat dimakruhkan), sebagian ulama Hanafiyyah yang lain menyatakan jawaz (boleh) asalkan kotak-nya tidak mondar-mandir di depan orang yang shalat, kemudian ulama Hanabilah menyatakan jawaz (boleh). Tetapi yang perlu diingat, bahwa sedekah atau infaq ketika seseorang masuk atau keluar masjid (misalnya uang sedekahnya dimasukkan dalam kotak ketika mau masuk masjid atau bahkan ketika keluar masjid) itu jauh lebih utama daripada bersedekah ketika khotbah jum’at sedang berlangsung. (keterangan semacam ini dapat dilihat juga di DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz. 2, hlm. 301).
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Bagaimanakah caranya, apabila ketika jum’atan saya terlambat, misalnya setelah sampai di masjid ternyata imam sudah tahiyyat akhir, apakah saya boleh mengikuti sisa shalat imam atau seperti apa? dan bagaimana cara selanjutnya?(Soleh, Welahan)
Jawaban
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat, setidaknya terdapat dua kesimpulan dari pendapat yang berbeda tersebut. Pertama, madzhab Hanafiyyah menyatakan bahwa siapapaun yang mendapatkan shalat bersama imam di bagian manapun (apakah imam sedang sujud, rukuk, tahiyyat, rakaat pertama, ke dua, atau bagian manapun), maka ia mengikuti shalat bersama imam sesuai rakaat yang didapat, kemudian menyempurnakan shalat jum’at sendiri, dalam hal ini ia dianggap mendapatkan jum’atnya, meskipun bahkan hanya mendapatkan imam ketika imam sedang tahiyyat atau sujud sahwi sekalipun.
Artinya, dari pendapat Hanafiyyah ini, apabila terdapat orang yang terlambat, dan ketika sampai masjid ternyata imam sudah dalam posisi tahiyyat –sebagaimana pertanyaan-, maka orang tadi langsung takbiratul ihram, kemudian langsung menyusul imam dalam posisi tahiyyat, dan setelah imam salam, orang tersebut meneruskan sendiri shalat jum’atnya (dua raka’at, seperti shalat jum’at biasa), dan dianggap sudah jum’atan.
Kedua, pendapat jumhurul Ulama, yang menyatakan bahwa, dalam kasus orang yang terlambat jum’atan, apabila orang tersebut masih mendapatkan (menangi; Jawa) rakaat keduanya imam (ukurannya, orang tersebut minimal masih menangi tumakninah rukuknya imam pada rakaat kedua), maka ia dianggap mendapatkan jum’atan, dan setelah imam salam orang tersebut meneruskan sendiri satu rakaat. Tetapi apabila orang tersebut tidak menangi rakaat kedua (misalnya ketika ia sampai di masjid, ternyata imam sudah tahiyyat), maka dia harus menyusul shalatnya imam dan menyempurnakan shalat sebagai shalat dzuhur (empat rakaat). (keterangan dari DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz. 2, hlm. 273). Sehingga, kami sarankan supaya mengikuti pendapat jumhur ini.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Salah satu yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Apabila saat puasa saya mengobati mata dengan tetes mata, apakah puasa saya batal? (Zain, Mindahan)
Jawaban
Puasanya tidak batal. Karena obat mata yang terkadang terasa sampai di tenggorokan itu masuk ke tubuh melalui pori-pori, bukan lubang yang tembus ke tenggorokan, seperti hidung. Begitu pula dengan suntik, suntik saat puasa tidak mengakibatkan puasa batal, karena masuknya cairan melalui lubang pori-pori, bukan lubang terbuka atau yang tampak seperti hidung atau mulut.
Referensi: Qalyubi & Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 2, hlm. 72
Dr. Fathur Rohman, M.Pd.I. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam
Pertanyaan
Pak Ustadz, saya seorang sopir bus yang setiap hari bolak-balik Jepara-Surabaya. Jadi, saya ini tergolong musafir. Sebagaimana dalam ketentuan puasa, seorang musafir boleh membatalkan puasanya. Apakah saya boleh meninggalkan puasa setiap hari?(Rozi, Plajan)
Jawaban
Jawabannya tidak boleh, karena kalau meninggalkan puasa tiap hari maka akan meninggalkan puasa selama-lamanya. Pak Sopir tetap harus berpuasa mulai fajar sampai maghrib kecuali kalau dalam perjalanan memang mengalami kondisi yang mengharuskan iftar atau membatalkan puasa. Misalnya kondisi pak Sopir terlalu lemah karena telat sahur sehingga dapat membahayakan perjalanan. Dalam kondisi seperti ini maka boleh membatalkan puasa dengan konsekuensi mengqadla di hari lain. Perlu dicatat pula bahwa musafir memang boleh membatalkan puasa, tetapi jika masih kuat berpuasa, lebih afdhal bagi musafir untuk tetap berpuasa. Lagipula, perjalanan sekarang sudah nyaman, tidak seberat jaman dahulu.
Referensi: Sayyid Abu Bakar Syatha. I’anah al-Thalibin, Beirut: Dar a-Fikr, hlm. 267
Dr. Fathur Rohman, M.Pd.I. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam
Pertanyaan
Apakah mimpi basah membatalkan puasa?(Hanif, Mantingan)
Jawaban
Di antara hal yang membatalkan puasa adalah mengeluarkan sperma secara sengaja, baik melalui hubungan seksual, perangsangan maupun sentuhan.
Apabila hanya dengan menghayal atau melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat terus air sperma keluar sendiri (tanpa disentuh), termasuk mimpi basah, maka tidak membatalkan puasa.(Al-Anshari, Fath al-Wahhab, 208).
Meskipun demikian, hal-hal yang merangsang syahwat apalagi berpotensi mengeluarkan sperma harus dihindari, untuk kesempurnaan ibadah puasa.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Apakah kumur-kumur membatalkan puasa?(Izza, Demaan)
Jawaban
Berkumur tidak membatalkan puasa, asalkan airnya tidak ditelan.
Dalam Fikih, dibahas hukum berkumur, apabila dilakukan sebelum "zawal" (masuk waktu Dzuhur), hukumnya boleh saja, akan tetapi apabila dilakukan setelah "zawal", maka hukumnya makruh.
Apabila berkumur saat berpuasa, hendaknya dilakukan biasa saja, jangan terlalu. Karena apabila terlalu dan air kumur masuk ke dalam atau tertelan, maka membatalkan puasa.(Al-Anshari, Fath al-Wahhab, 208).
Dan bahkan sebagian ulama menganjurkan agar saat berpuasa tetap tidak berkumur, karena meskipun mulut terasa asam dan bau, tetapi itu ada nilai pahala.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Seringkali kita shalat Tarawih itu cepat dan kilat, bagaimana hukumnya dan bagaimana pula caranya agar meskipun cepat tetapi masih aman?(Wati, Sekuro)
Jawaban
Tarawih itu dari kata dasar "Raha" artinya rehat, tenang, nyaman. Jadi seharusnya shalat Tarawih itu tenang, nyaman dan apabila capek, rehat dulu.
Misalnya dipraktikkan cepat, maka rukun-rukun shalat, baik rukun yang berbentuk ucapan (qauli) seperti membaca al-Fatihah maupun perbuatan (fi'li) seperti ruku' sujud dan sebagainya harus tetap dijalankan secara baik (Lihat, Al-Malibari, Fath al-Mu'in, 99),
Catatan lain, dalam membaca Al-Qur'an juga harus Tartil meskipun singkat (lihat, Al-Muzzammil ayat 4). Bacaan cepat diperbolehkan dengan catatan tidak terjadi "lahn" (cacat bacaan), sehingga mengaburkan bahkan merubah makna ayat.
Perhatikan juga thuma'ninah, karena mayoritas ulama mewajibkannya, kecuali pandangan madzhab Hanafi yang menganggap shalat tetap sah meski tanpa thuma'ninah (lihat, Ikhltilaf A'immat al-Ulama', 114).
Jadi, Tarawih cepat, diperbolehkan dengan berbagai catatan yang harus diperhatikan. Dan ingat, shalat yang cepat-cepat itu berpotensi menghilangkan kekhusyukan, dan tanpa khusyu seakan hilang soul-nya.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Apakah suntik, membatalkan puasa?(Imron, Bawu)
Jawaban
Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam "jauf" (dalam tubuh melalui lobang terbuka, seperti mulut, hidung, telinga dan lain-lain) secara sengaja.
Adapun suntik atau memasukkan obat atau yang lain melalui lubang pori-pori, maka itu tidak dikategorikan sebagai "jauf" atau "manfadz maftuh" (lubang terbuka), sehingga suntik tidak membatalkan puasa (Al-Husayni, Kifayat al-Akhyar, 168) meskipun dilakukan setiap hari.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Saya agak terlambat pergi ke masjid untuk shalat tarawih, ketika sampai masjid jamaah sudah melaksanakan shalat tarawih, sementara saya belum shalat isya. Apakah diperbolehkan saya shalat isya bermakmum kepada imam yang sedang shalat tarawih?(Ricky, Tahunan)
Jawaban
Salah satu syarat keabsahan jamaah adalah kesamaan shalatnya imam dan makmum (Musthafa, Al-Fiqh al-Manhaji, 183). Makmum yang sedang melakukan shalat Dzuhur misalnya, tidak boleh mengikuti imam yang sedang shalat Asar atau Isya'.
Akan tetapi, diperbolehkan seseorang yang sedang melakukan shalat Sunnah bermakmum kepada orang yang sedang shalat fardlu, dan begitu sebaliknya, orang sedang melakukan slahat fardlu bermakmum kepada orang yang sedang melakukan shalat Sunnah, tetapi hukumnya makruh (Al-Jaziri, Madzahib al-Arba'ah, 418).
Karena hukumnya makruh, maka ada baiknya dihindari, tetap shalat isya meskipun munfarid dan melanjutkan mengikuti tarawih, dan semoga lebih rajin.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Seseorang sedang terkena flu, hidung tersumbat, dan terkadang dahak tertelan ketika bersin, apakah batal puasanya?(Aris, Tahunan)
Jawaban
Kalau dahak itu sudah keluar dari mulut, lalu ditelan lagi, maka puasanya pasti batal, karena telah memasukkan benda luar ke dalam mulut dan menelannya. Sebaliknya kalau dahak tersebut masih berada di dalam mulut, dan sulit untuk dibuang sehingga akhirnya tertelan, maka puasanya tidak batal, karena hal itu normal dan memang sulit dihindari. Tapi perlu diingat, jika ada dahak di mulut, sebaiknya segera dibuang, jangan ditahan lama-lama. Kalau sampai ditahan di mulut, lalu tertelan, maka puasanya bisa batal. Sebab, para ulama menganggap dahak sama dengan muntahan. Orang puasa yang menelan muntahan di mulut secara sengaja maka puasanya batal.
Referensi : Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
Dr. Fathur Rohman, M.Pd.I. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam
Pertanyaan
Apakah mengunyahkan makanan untuk bayi saat berpuasa membatalkan puasa?(Sholikhah, Tubanan)
Jawaban
Pada dasarnya, memasukkan benda apa saja, termasuk makanan ke dalam mulut saat puasa, asalkan tidak ditelan, maka tidak membatalkan puasa. Tetapi para ulama memberi catatan, jika hal itu dilakukan tanpa ada kebutuhan mendesak maka hukumnya makruh. Kalau kemudian makanan itu tertelan maka bisa jadi batal puasanya. Mengunyahkan makanan untuk bayi juga begitu, hukumnya diperbolehkan, dan puasanya tetap sah, asalkan tidak ditelan. Kalau ditelan, walaupun tidak sengaja, maka puasanya batal. Karena itu, jika tidak mendesak, ibu-ibu lebih baik tidak mengunyahkan makanan untuk anaknya. Selain tidak steril untuk bayi, juga untuk menghindari resiko batal puasa. Sekarang sudah ada blender, Ibu-ibu bisa menggunakannya untuk menghaluskan makanan bayi.
Referensi : Al-Imrani, al-Bayan, Kairo: Dar Ihya al-Kutub, Juz 3, hlm. 534
Dr. Fathur Rohman, M.Pd.I. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam
Pertanyaan
Ustadz tolong dijelaskan tentang Nnuzulul Quran(Sholikhah, Tubanan)
Jawaban
Nuzulul Qur'an merupakan proses turunnya Al-Qur'an yang dibagi dalam beberapa tahap, pertama adalah diturunkan ke Lauh Mahfudz kemudian dari Lauh Mahfudz diturunkan ke langit dunia (diturunkannya Al-Qur'an tahap ini adalah secara sekaligus), terjadi pada Lailatul Qadar tanggal 24 Ramadlan. Di langit dunia, Malaikat Jibril mendiktekan Al-Qur'an kepada Malaikat Safarah, kemudian disimpan di lembaran-lembaran (shuhuf) yang disebut Baitul Izzah. Nah, dari Baitul Izzah ini kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur (munajjam) sesuai kebutuhan selama sekitar 23 tahun masa kenabian (Al-Bantani, Marah Labid)
Peringatan Nuzulul Qur'an sebagaimana yang maklum dilaksanakan pada malam 17 Ramadlan berdasar pada pendapat bahwa Nabi Muhammad pertama kali mendapatkan Wahyu ketika beliau bersemedi di goa Hira adalah pada malam 17 tersebut (Khudlari Beik, Nurul Yaqin, hlm. 19). Akan tetapi kebanyakan ulama mendasarkan pendapatnya pada QS. Al-Anfal ayat 41, yaitu peristiwa Badr yang terjadi pada 17 Ramadlan dan disebut dalam Al-Qur'an sebagai "Yaumul Furqan".
Dalam peringatan Nuzulul Qur'an yang terpenting bukanlah peringatannya akan tetapi nilai luhur yang ada dalam peringatan tersebut, seberapa intens kita lebih akrab dengan Al-Qur'an dan seberapa kita kita memedomaninya dalam seluruh sisi kehidupan.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Bagaimanakah caranya, apabila ketika jum’atan saya terlambat, misalnya setelah sampai di masjid ternyata imam sudah tahiyyat akhir, apakah saya boleh mengikuti sisa shalat imam atau seperti apa? dan bagaimana cara selanjutnya?(Adi, Pecangaan)
Jawaban
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat, setidaknya terdapat dua kesimpulan dari pendapat yang berbeda tersebut. Pertama, madzhab Hanafiyyah menyatakan bahwa siapapaun yang mendapatkan shalat bersama imam di bagian manapun (apakah imam sedang sujud, rukuk, tahiyyat, rakaat pertama, ke dua, atau bagian manapun), maka ia mengikuti shalat bersama imam sesuai rakaat yang didapat, kemudian menyempurnakan shalat jum’at sendiri, dalam hal ini ia dianggap mendapatkan jum’atnya, meskipun bahkan hanya mendapatkan imam ketika imam sedang tahiyyat atau sujud sahwi sekalipun. Artinya, dari pendapat Hanafiyyah ini, apabila terdapat orang yang terlambat, dan ketika sampai masjid ternyata imam sudah dalam posisi tahiyyat –sebagaimana pertanyaan-, maka orang tadi langsung takbiratul ihram, kemudian langsung menyusul imam dalam posisi tahiyyat, dan setelah imam salam, orang tersebut meneruskan sendiri shalat jum’atnya (dua raka’at, seperti shalat jum’at biasa), dan dianggap sudah jum’atan.
Kedua, pendapat jumhurul Ulama, yang menyatakan bahwa, dalam kasus orang yang terlambat jum’atan, apabila orang tersebut masih mendapatkan (menangi; Jawa) rakaat keduanya imam (ukurannya, orang tersebut minimal masih menangi tumakninah rukuknya imam pada rakaat kedua), maka ia dianggap mendapatkan jum’atan, dan setelah imam salam orang tersebut meneruskan sendiri satu rakaat. Tetapi apabila orang tersebut tidak menangi rakaat kedua (misalnya ketika ia sampai di masjid, ternyata imam sudah tahiyyat), maka dia harus menyusul shalatnya imam dan menyempurnakan shalat sebagai shalat dzuhur (empat rakaat). (keterangan dari DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz. 2, hlm. 273). Sehingga, kami sarankan supaya mengikuti pendapat jumhur ini.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Bagaimana hukum taqlid (ikut dalam bermadzhab) dalam hal ushul al-din? Kapan taqlid dihukumi boleh atau dianggap berdosa?(Didik, Tubanan)
Jawaban
Melansir pendapat imam nawawi dalam kitab nihayatu al-zain syarah kitab qurrotu al-ain bahwa orang yang tidak memiliki kepakaran dalam berijtihad, maka wajib baginya bertaqlid dalam hal ushul (pokok agama islam); yaitu aqidah imam abi alhasan al-asya’ari dan imam abi manshur al-maturidi. Akan tetapi, keimanan seorang muqollid diperselisihkan dinisbatkan pada hukum-hukum akhirat. Adapun dengan melihat dan mempertimbangkan hukum-hukum akhirat maka cukup baginya berikrar saja; (misalnya; “ saya mengikuti imam al-asy’ari “)
Pendapat yang lebih benar, bahwa seorang muqollid adalah seorang mukmin yang bermaksiat, berdosa (عاص) jika dia mampu untuk nadzor ( النظر ); (mencari berpikir, mempertimbangkan, berargument dan membenarkan dengan akal logikanya). Dan seorang muqollid tidak dihukumi bermaksiat, tidak berdosa (عاص) jika memang ia tidak mampu untuk nadzor (mencari, berpikir, mempertimbangkan, berargument dan membenarkan dengan akal logikanya). (lihat nihayatu al-zain, hal. 10)
Dr. Muhammad Natsir, S.S., M.Pd. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam
Pertanyaan
Mohon dijelaskan adab-adab membaca Al-Qur'an?(Wati, Mlonggo)
Jawaban
Banyak sekali adab dan tata kerama dalam membaca Al-Qur'an, antara lain disunnahkan dalam kondisi suci atau berwudlu, membaca di tempat yang bersih terutama masjid, duduk tenang menghadap kiblat, serta bersiwak. Adab-adab ini tentu sebagai bentuk penghormatan terhadap Al-Qur'an yang merupakan Kalam suci.
Adab yang lain adalah mendengarkan dengan seksama apabila Al-Qur'an sedang dibaca, tidak bicara atau bermain sendiri, serta bersujud tilawah ketika membaca ayat-ayat Sajdah.
Adapun terkait waktu paling utama adalah ketika shalat, kemudian malam hari khususnya separuh malam terakhir, antara Maghrib dan Isya', dan sehabis subuh. Untuk memulai baiknya malam Jum'at dan mengkhatami di malam Kamis, ketika khataman, disunnahkan puasa dan mengundang sanak saudara "slametan" bareng, karena di situlah turun Rahmat Allah. (Al-Maliki, Al-Qawa'idul Asasiyyah, hlm.23-24).
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Mohon dijelaskan, ketika membaca Al-Qur'an itu lebih baik cepat tetapi mendapatkan banyak huruf dan pahala, atau Tartil tetapi dapat sedikit?(Rizqi, Bangsri)
Jawaban
Sebenarnya kedua hal yang ditanyakan tersebut tidak "dipertentangkan", artinya, lebih baik Tartil tetapi dapat banyak, sehingga bacaannya berkualitas tetapi juga pahalanya melimpah.
Memang, membaca Al-Qur'an adalah ibadah paling utama, setiap hurufnya terdapat sepuluh kebaikan yang bisa berlipat ganda lagi. Dan apabila harus dipertentangkan antara Tartil atau cepat, mayoritas ulama ahli Al-Qur'an menyarankan lebih baik Tartil meskipun mendapatkan sedikit, karena Tartil itu lebih bisa khusyu', tadabbur (berpikir makna), memuliakan serta lebih membekas dalam hati (Al-Maliki, Al-Qawa'idul Asasiyyah, hlm. 28)
Pertimbangan Tartil atau cepat, ibaratnya adalah pertimbangan kualitas atau kuantitas. Lebih baik kita memiliki mangga setengah keranjang tapi bagus semua, atau satu keranjang tetapi banyak yang busuk? Ini pilihan. Pasti semua orang menginginkan memiliki satu keranjang dan bagus semua.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Status Panitia zakat tingkat mushola apakah sebagai amil syarí? Bagaimana mencapai status amil syari agar memberikan keabsahan dan kenyamanan bagi muzakki? (Huda, Kalinyamatan)
Jawaban
Amil dalam perspektif fiqih adalah orang yang ditunjuk resmi oleh imam (pemerintah) untuk mengambil, mengelola, dan menyalurkan zakat yang dikumpulkan dari masyarakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya yaitu delapan ashnaf (golongan). Jadi amil pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam melaksanakan tugas yang terkait dengan zakat. Panitia zakat yang ditunjuk oleh takmir masjid musholla statusnya bukan sebagai amil, sehingga tidak berhak atas bagian amil.
Bagi takmir masjid musholla untuk dapat menjadi amil resmi perlu mengajukan dan memperoleh legalitas sebagai unit pengelola zakat pada Baznas atau Lembaga zakat resmi seperti Lazisnu.
Aan Zainul Anwar, S.H.I., M.E.Sy. Kepala UPZ Unisnu Jepara, Wakil Dekan Bidang III Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Pertanyaan
Diantara zakat mal adalah zakat perniagaan atau zakat atas usaha, bagaimana cara menghitung zakat atas usaha?(Mustain, Pecangaan)
Jawaban
Zakat perniagaan atau usaha berdasarkan hadits berikut:
إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كان يأمرنا أن نُخرِج الصدقةَ مِن الذي نُعِدُّ للبيع
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita untuk mengeluarkan zakat dari harta yang disiapkan untuk niaga”(HR Abu Dawud).
Ketentuan zakat atas usaha adalah 1) usaha telah berjalan satu tahun penuh 2) mencapai nishab yaitu setara 85 gram emas 3) kadar atau besaran zakat 2,5%. Adapun ketentuan yang menjadi penghitung jumlah harta usaha yang wajib zakat adalah:
- Semua bahan hasil proses produksi perusahaan yang belum terjual
- Semua bahan baku produksi perusahaan yang diniatkan untuk diolah
- laba / pendapatan bersih yang diperoleh oleh perusahaan selama satu tahun
- Piutang lancar perusahaan yang masuk kategori bisa ditagih dan diharapkan kepastiannya dalam jangka pendek
- Dikurangi hutang perusahaan yang berkaitan dengan proses produksi
Produk hasil proses + Bahan Baku + Laba +Piutang – Hutang= jumlah harta x 2,5% = jumlah zakat
Aan Zainul Anwar, S.H.I., M.E.Sy. Kepala UPZ Unisnu Jepara, Wakil Dekan Bidang III Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Pertanyaan
Apa pemahaman Lailatul Qadar? Dan mengapa datangnya dirahasiakan oleh Allah? (Aulia, Mlonggo)
Jawaban
Lailatul Qadar sesuai makna harfiahnya adalah malam "ukuran", kemuliaan, keagungan, dan berlipat nilai. Karena memang di malam tersebut penuh dengan kemuliaan dan berlipatnya nilai ibadah (Al-Qurthubi, Al-Jami', 20, hlm. 130)
Lailatul Qadar marupakan kado istimewa bagi umat Nabi Muhammad, THR spesial. Kedatangannya memang dirahasiakan supaya manusia bersungguh-sungguh melakukan ibadah di seluruh malam Ramadlan tanpa pilih-pilih malam (Al-Razi, Mafatihul Ghayb, 32, hlm. 28).
Mengenai kapan datangnya, ulama berbeda prediksi, Bahkan Ibn Hajar al-Asqallani mengumpulkan sekitar 45 pendapat. Dan yang paling populer adalah prediksi bahwa Lailatul Qadar berpotensi hadir di malam-malam ganjil terutama sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan (al-Asqallani, Fathul Bari, 5, hlm. 569).
Prediksi ulama juga dikaitkan dengan "hitungan" ilmu "titen", juga dengan tanda-tanda alam, silahkan diikuti tetapi belum dapat dipastikan, sehingga, seluruh malam Ramadlan ada baiknya tetap dihidupkan dengan aktifitas-aktifitas ibadah.
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Pertanyaan
Seseorang berniat mengqodha Puasa Ramadhan dan kebetulan bertepatan Hari Senin-Kamis, bolehkah diniatkan puasa qodha ramadhan sekaligus niat puasa sunnah? (Musthofa, Tahunan)
Jawaban
Pada dasarnya, menggabung puasa wajib dengan puasa sunnah seperti menggabung puasa qadla’ dan puasa senin-kamis, hukumnya boleh. Kedua-duanya sah dan mendapatkan pahala. Bahkan kalau hanya berniat puasa wajib, tanpa berniat puasa sunnah, menurut para ulama, tetap dapat pahala untuk kedua-duanya. Contoh, orang puasa qadla ramadlan di hari senin atau kamis, hanya niat qadla puasa, tapi tidak niat puasa senin, maka dia tetap dianggap menjalankan dua puasa, yakni wajib dan sunnah dan mendapatkan pahala keduanya. Yang tidak boleh adalah menggabungkan niat puasa wajib dengan wajib. Misalnya menggabung puasa ramadlan dengan puasa qadla’ atau dengan puasa nadzar, maka kedua-duanya tidak sah.
Referensi : Sayyid Abu Bakar Syatha. I’anah al-Thalibin, Beirut: Dar a-Fikr, Juz. 2 Hlm. 252
Dr. Fathur Rohman, M.Pd.I. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam
Pertanyaan
Bagaimana hukumnya apabila saat berbuka puasa, sebelum makan apapun, langsung bersenggama dengan pasangan? (Nia, Pecangaan)
Jawaban
Malam puasa, diperbolehkan melakukan "rafats" atau berjimak dengan pasangan (QS. Al-Baqarah, 187). Ayat ini menggembirakan untuk kita, karena di awal-awal syari'at Nabi, orang puasa apabila telah tiba waktu berbuka maka diperbolehkan makan, minum dan berjimak, dengan syarat ia belum tidur dan atau melaksanakan shalat Isya', apabila salah satunya telah dilaksanakan maka harus menahan diri lagi sampai Maghrib hari esok.
Hukum berbuka puasa dengan berjimak adalah boleh dan tidak masalah. Meskipun ada baiknya apabila memakan sesuatu yang manis dahulu, apabila ditemukan.
Akan tetapi menurut Syaikh Nawawi Al-Bantani, bahwa berbuka puasa dengan berhubungan intim bukan merupakan bagian dari kesunnahan dalam mempercepat berbuka puasa, karena berbuka puasa dengan berhubungan intim sementara belum memakan apapun justru akan melemahkan stamina. (Al-Bantani, Nihayatuz Zain, hlm. 194).
Dr. Abdul Wahab Saleem, M.S.I. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi