Filosofi Ing Madya Mangun Karsa : Gaya Kepemimpinan Ideal Era Milenial
Oleh : Syahrul Juniar Setiawan
Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Unisnu Jepara, PP Darul Istiqomah Tahunan Jepara, WA 081615640577, surel : syahruljuniar274@gmail.com, aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Kepemimpinan adalah hal yang membuat keselarasan dan keharmonisan hidup berjalan dengan sempurna untuk mencapai cita-cita yang berupa kesuksesan dan kebahagiaan. Kepemimpinan sangat dibutuhkan oleh semua orang, agar dapat memandu dan mendorong dirinya dan orang lain (organisasi) untuk bergerak menuju kesuksesan dan kebahagiaan. Kartini Kartono menyebutkan, bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang tertentu, sehingga mampu memngaruhi orang lain untuk bersama-sama atau beberapa tujuan tertentu. Tugas pemimpin itu memimpin. Dan, memimpin itu bukan pekerjaan mudah. Memimpin adalah proses menggerakkan sekelompok sumber daya manusia untuk menjalankan pekerjaan organisasi yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan bersama. Seorang pemimpin menyatukan persepsi setiap kepala anggota organisasi, agar dapat menjalankan proses tersebut sampai pada tujuan yang diharapkan.
Ketika berbicara mengenai filosofi kepemimpinan, Indonesia mempunyai filosofi yang mendalam dari Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yang mempunyai filosofi tersebut saat mendirikan Taman Siswa sebagai tempat belajar pada masa penjajahan Belanda. Filosofi tersebut yaitu Ing Madya Mangun Karsa, menuturkan bahwa seorang pemimpin harus di posisi tengah untuk membangun semangat berkarya atau mencapai tujuan. Meskipun konsep Ki Hajar Dewantara lebih sering digunakan oleh guru dalam pembelajaran, namun sesungguhnya konsep tersebut sangat tepat menjadi dasar dari konsep kepemimpinan.
Seorang pemimpin saat di tengah harus bisa mengayomi dan memberi motivasi untuk tujuan yang ingin di capai bersama. Memimpin di tengah berarti pemimpin terasa hadir lahir batin dalam sistem, bisa merangkul yang dipimpinnya, mau menerima kritik dan saran. Masyarakat di era milenial, dengan keseharian internet dan media sosial bisa selalu mengawasi dan mengomentari langsung semua jejak langkah para pemimpinnya. Saat di tengah-tengah pemimpin harus bisa membuat kondisi organisasi menjadi positif, sehingga akan muncul semangat bersama untuk saling memotivasi dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Seorang pemimpin diharapkan memiliki kedekatan emosional dengan rakyat seperti sering bersilaturahim atau blusukan. Namun, kedekatan di era milenial tidaklah harus bertemu secara fisik melainkan bisa secara digital. Di era digital ini, masyarakat bisa menilai, melapor, mengeluh, dan memberi nilai kinerja pemimpinnya melalui Smartphone. Inti dari semua itu adalah lahirnya rasa percaya diri warga kepada pemimpinnya. Dengan teknologi yang semakin serba cepat, pemimpin era milenial harus siap dengan resiko persepsi. Kinerja terberitakan disebut pencitraan. Tidak diterbitkan disebut tidak ada kinerja.
Kita berharap di Negara ini akan lahir banyak pemimpin yang mampu memimpin sesuai dengan filosofi yang di cetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Bukan pemimpin yang lebih mementingkan ego pribadi atau kelompoknya, tapi pemimpin yang bisa menginspirasi dan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Pemimpin yang tegas secara sikap bukan dengan suara, yang memotivasi bukan memaki, yang menggerakkan bukan memerintahkan, yang merangkul bukan memukul. Pemimpin yang meneruskan cita-cita pendahulunya, bukan menjadi pemimpin yang meneruskan cara-cara pendahulunya. Karena itu, pemimpin zaman ini harus faham apa yang dicita-citakan pemimpin terdahulu.